Senin, Oktober 26, 2009

One difficulty at a time

Kembali merumput di tempat yang sama. Masih sama seperti yang kutinggalkan satu bulan yang lalu. Kursi biru usang, tempat aku biasanya menghempaskan diriku sesaat aku datang, masih tetap usang. Bau tembakau yang menyengat, masih tetap menyengat . Sapaan - sapaan para pegawai, masih tetap ramah. Akhirnya kembali juga aku ke sini, ruangan kecil di pojok kantor yang seharusnya berfungsi menjadi ruang rapat kecil, semenjak aku ke sini disulap menjadi sebuah ruangan bekerja yang cukup unuk menampung empat orang pekerja dan dua komputer, dua laptop, dan satu server di atas mejanya. Jam 8 tepat, kopi susu dan roti cokelat sudah terhidang di atas meja, satu batang tembaku melengkapi segalanya. Permulaan yang sangat baik untuk mulai bekerja. Ya aku tau, aku bukan pekerja keras, jadi minimal kondisi awal seperti ini membuatku mau bekerja semaksimal mungkin, even though my best won't be good enough. :)
Langkah - langkah sudah dipersiapkan semenjak di Bandung, kalau dilihat dari plan di Bandung seperitnya mudah dilaksanakan. Presentasi, ambil data, bekerja dengan data, lalu pulang ke Bandung. Tapi sepertinya tidak bisa demikian, sampai saat ini pun belum melakukan presentasi, jadi pengambilan data dilakukan dengan bertanya - tanya seadanya. Yah, berhubung pekerjaan aku adalah pengimplimentasian yang mana konsepnya temanku yang buat, jadi harus menunggu sampai konsepnya matang baru kemudian diimplementasikan. Kenyataan kedua, pembuatan konsep tidak secepat dan semudah yang dibayangkan, dengan bertanya ke sini dan ke situ pun masih harus banyak yang harus dipikirkan demi mematangkan konsep. Yah, selagi masih mematangkan konsep aku gunakan waktu untuk berlatih pengimplemantasian dengan pMapper.

One difficulty at a time, first thing first..

Read more...

Kamis, Oktober 22, 2009

Jurnal Medan (Again) : Unfamiliar Ceiling

Masih berat mata ini, tapi suara hiruk pikuk dan kebisingan di luar tak henti - hentinya berusaha menbangunkan diriku yang masih ingin terus terlelap. Dan akhirnya, aku kalah telak dan menyerah kepada keadaan. Kubuka mata ini, dan aku disambut oleh langit - langit putih tanpa dekorasi tanpa motif, sepersekian detik aku pertanyakan dimana langit - langit coklat berhiaskan motif kayu berlintang 45 derajat yang biasanya menyambutku pada saat aku bangun ? Ah, ternyata aku belum terharmoni dengan keadaan sekitar, memang butuh waktu beberapa hari lagi untuk bisa berselaras dan bersenada dengan lingkungan baru. Kutatap sumber cahaya dari jendela yang persis di sebelah tempat tadi aku tidur, mendung ternyata. Jam berapa kira - kira ini ? Melihat dari cahaya matahari dan arah jatuhnya bayangan, sepertinya sih jam 8 atau jam 9an. Kuambil jam untuk memastikan waktu, jam 11 ternyata.. Pas juga waktu tidurku ini, 8 jam..

Penasaran dengan kebisingan di luar, aku keluar sekalian melihat keadaan meja makan. Ternyata sumber kebisingannya dari tukang - tukang yang memperbaiki jalan , supaya baik jalannya (Kaya Lagu Delman). Lantai garasi di depan rumah om-ku ini memang sudah lepas - lepas dari tanah karena memang dibuat dari batu - batu yang ditempelkan ke tanah, jadi harus selalu diperbaiki secara periodik. Dan om-ku ini mau menumbuhkan rumput di antara batu - batu yang dijadikan lantai menuju garasi itu, supaya nantinya lantai menuju garasi itu akan dijadikan rumput. Dia juga pernah menceritakan, kalau rumput yang akan ditanam adalah rumput gajah, karena rumput Swiss tidak bisa tumbuh kalau tergeleng - geleng mobil. Karena tidak mengerti masalah rumput dan jenisnya, aku melihat ke lantai garasi agar terlihat tertarik dengan rumput yang akan ditanam di lantai garasi. Memang sedikit unik om-ku ini.
Malam minggu di Medan, tadinya berniat untuk ke kantor Bappeda sekalian silaturahmi, namun karena Kepala Bappedanya sedang ke luar kota jadi malam minggu ini bisa dijadikan waktu lowong untuk keliling Medan, sekalian dalam rangka mengharmonisasikan diri kembali di Medan. Agar bisa terpenuhi misi penting ini, si Yudha pun mengajak adik temannya yang punya alat transportasi darat 4 roda. Alhasil menjadi malam minggu pertama di Medan yang benar - benar dapat dikatakan sebagai malam minggu, Sun Plaza - USU - Merdeka Walk - Medan Fair, pulang sampai rumah keletihan jam 10 malam. Har minggu mungkin tidak bisa berkeliling lagi, karena harus mulai persiapan untuk kembali ke Kantor BAPPEDA.
At last at least mission accomplished! :D

Read more...

Rabu, Oktober 21, 2009

Journal Medan (Again)


Sebulan lebih kami tidak menapakkan kaki di kota ini.  Langkah pertama di kota ini dimulai dengan nada air dari langkah kaki ketika berjalan menapaki permukaan aspal Polonia.  Ternyata malam pertama di kota ini diberkahi dengan hujan, hujan lebat dan berpetir.  Memang terasa guncangan pada saat terjadi di udara, tapi untungnya pendaratan dilakukan dengan baik bahkan mendekati sempurna.  Kata seorang teman saya “hujan membawa berkah” tapi sepertinya sudah gak berlaku untuk kota – kota besat.  Pengalaman saya hidup di kota besar, hujan membawa dua hal, macet dan banjir.  Terkecuali untuk orang yang beropini bahwa macet dan banjir adalah berkah, maka menurut saya opini hujan membawa berkah sudah tidak berdasarkan lagi (red-invalid). Hujan yang lebat dan petir yang dasyhat membuat kami terbirit - birit mecari perlindungan terdekat, dengan sigap kami lari menuju ruangan bandara.  Di sana sudah menunggu satu orang utusan dari ‘kediaman’, figurnya kekar dan tinggi, orang terakhir dalam daftar ‘orang yang cari ribut.  Tetapi begitu diminta untuk mengambil troley untuk bawaan barang kami, dalam waktu 2 menit dia sudah siap dengnan troley, padahal troley di Polonia bisa tergolong barang langka gara- gara sudah dibooking oleh courier – courier bandara.  Hebat, patut diacungkan dua jempol memang didikkan TNI. 

 


Suasana kota Medan malam hari, tidak membuat rindu memang, namun berbeda dengan kota Bandung jadi membuat saya selalu tertarik.  Malam jam 7, kota Metropoloitan ke 3 Indonesia ini sudah tampak lengang dan gelap.  Namun suasana malam ini sedikit berbeda, hujan yang membasahi jalanan kota Medan memantulkan cahaya dan nuansa lebih, membuat perjalanan 10 menit dari Polonia ke kediaman menjadi sangat tidak terasa, setangah hati rasanya turun dan meninggalkan suasana yang unik tadi.

Om saya menjemput saya dari kediaman Sudirman, senyum hangatnya yang menyambut kedatangan saya membuat ‘rumah’ baru di kota yang berjarak ratusan kilo dari ‘rumah’ saya yang asli.   Yup, sepertinya selama saya di Medan ini saya tidak akan merasa jauh dari rumah.  Suasana yang hangat dan nyaman ini akan saya jadikan fondasi yang kuat untuk menyelesaikan pekerjaan saya di sini.

Read more...

  © Blogger template ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP