Selasa, November 23, 2010

Moments

“What was the best coffee you ever had..?” (John Basilone, The Pacific part 7)


Ada beberapa kutipan yang saya inget dari film The Pacific, salah satunya waktu John Basilone ngobrol sama calon istrinya (yang nantinya jadi janda muda) di dapur barak. Salah satu obrolan santainya nyerempet soal kopi, kata si John Basilone di film ini kopi terenak yang pernah dia rasain adalah kopi yang diberikan oleh sersannya setelah kemenangannya di Guadalcanal. Kondisinya, badan memar – memar gak berbentuk, tangannya kena luka bakar, tanpa tidur sehari semalam, dan kemudian seseorang memberinya kopi, kopi hitam hambar disajikan di gelas kaleng ala militer. Kopi tereenak yang pernah dia rasakan. Ah, you see.. Bukan karena kopinya yang merupakan biji kopi pilihan (….? Kaya iklan..) tapi karena kondisi dan momen nya yang membuat kopi hambar menjadi kopi starbucks.


Momen bisa merubah setangkai bunga melebihi indahnya “Summer Palace”. Momen bisa merubah sebatang roko lebih nikmat dari cerutu kuba. Mengubah hal kecil menjadi keajaiban dunia.
Best coffee moment for me ?


Kondisinya kurang lebih seperti ini, suhu waktu itu mungkin 9 – 10 derajat celsius, jaket dan kaos kaki basah karena kehujanan saat di perjalanan, badan mengigil. Spontan saya meraih sebungkus roko yang saya simpan di saku jaket. Firasat kurang baik, bungkusnya terasa lembab dan sudah rusak. Dan memang benar, setelah saya buka dan liat isinya, kertas – kertas roko sudah jadi bubur dan tembakau – tembakaunya bertebaran. Lalu kemudian, seorang teman datang sambil membukakan bungkus rokonya seraya menawarkan roko. When I light it, It was honestly the best cigarette I ever had. Penggalan kisah sewaktu saya dan teman saya naik ke Gunung Slamet saat berisitrahat di Pos 6.
Hmm.. I guess it’s right. You appreciate things when you’re suffering. :D

Read more...

Sabtu, November 06, 2010

Secret of Happiness

Sedikit meng-quote dari buku Sang Alkemis-nya Paul Coelho..
Seorang pemilik toko mengirim puteranya untuk belajar tentang rahasia kebahagiaan dari pria yang paling bijaksana di dunia. Si bocah mengembara, menyeberangi gurun selama empatpuluh hari, dan akhirnya sampailah dia kesatu istana yang indah, tinggi di puncak gunung. Di sanalah orang bijak itu tinggal.

"Tanpa mencari orang bijak itu dulu, pahlawan kita langsung saja memasuki ruang utama istana itu, melihat macam-macam kegiatan: para pedagang datang dan pergi, orang-orang berbincang di sudut-sudut, orkestra kecil memainkan musik yang lembut, dan ada sebuah meja yang dipenuhi piring-piring makanan terlezat yang ada di belahan dunia tersebut. Si orang bijak bercakap-cakap dengan setiap orang, dan si anak harus menunggu selama dua jam sebelum akhirnya dia mendapat perhatian orang itu.

Orang bijak itu mendengarkan dengan penuh perhatian keterangan si anak tentang alasan dia datang, tapi berkata bahwa dia tidak punya waktu untuk menerangkan rahasia kebahagiaan. Dia menyarankan anak itu untuk melihat-lihat istana dan kembali dalam dua jam.

"'Sambil kamu melihat-lihat, aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku,' kata orang bijak itu, menyodorkan sendok teh berisi dua tetes minyak. 'Sambil kamu keliling, bawalah sendok ini tanpa menumpahkan minyaknya.'"

"Anak tadi mulai naik turun tangga-tangga istana, dengan pandangan tetap ke arah sendok itu. Satelah dua jam, dia kembali ke ruangan tempat si orang bijak berada.

"'Nah,' tanya orang bijak itu, 'apakah kamu melihat tapestri Persia yang tergantung di ruang makanku? Apakah kamu melihat taman yang ditata pakar pertamanan selama sepuluh tahun itu? Apakah kamu memperhatikan kertas kulit yang indah di perpustakaanku?

"Anak itu merasa malu, dan mengaku dia tidak memperhatikan apa-apa. Perhatiannya hanya tertuju pada minyak di sendok itu supaya tidak tumpah, seperti yang percayakan si orang bijak kepadanya.
"'Kembalilah dan perhatikan duniaku yang mengagumkan ini,' kata si orang bijak.
'Kamu tidak dapat mempercayai orang kalau kamu tidak tahu rumahnya.'

"Dengan lega, anak itu mengambil sendok tadi dan kembali menjelajahi istana itu, kali ini dia memperhatikan semua karya seni di atap dan dinding-dinding. Dia melihat taman-taman, pergunungan di sekelilingnya, bunga-bunga yang indah, dan mengagumi selera di balik pemilihan segenap hal yang ada di sana. Sekembalinya dia ke orang bijak itu, dia mengungkapkan secara terinci semua yang dilihatnya.
"'Tapi mana minyak yang kupercayakan padamu?' tanya si orang bijak.
"Memandang ke sendok yang dipegangnya, anak itu melihat minyak tadi telah
hilang.

"'Baiklah, hanya ada satu nasihat yang bisa kuberikan padamu,' kata manusia terbijak itu. 'Rahasia kebahagiaan adalah melihat semua keindahan dunia, dan tak pernah melupakan tetesan minyak di sendok."


Mungkin akan banyak interpretasi apabila diberi penggalan kisah seperti ini..
Saya mengintrepetasikannya, salah satu rahasia kebahagiaan adalah dengan lihat dan alamilah semua sudut dunia dan segala yang ditawarkan dunia tanpa melupakan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan semua yang dekat dengan kita. Intinya adalah keseimbangan antara kesenangan dunia dan tanggung jawab akan membawa kebahagiaan dan ketenangan. :)

Read more...

Sabtu, September 11, 2010

Utopia

Tower down a life time
countless moments there it sheletered
layering what a man become
an utopia it alone
regrets to many eyes
struggle to i believes
world judge the man
an utopia it remain

Read more...

Selasa, September 07, 2010

(Blank)

Lama jam memandang halaman putih di depan monitor sudah tidak dapat terhitung lagi. Memang kadang, ide secemerlang apapun sulit apabila sudah lama tidak tertuangkan. Enggan untuk ditumpahkan.
Kedip - kedip 'text cursor' sepertinya menghipnotis agar berhenti untuk menghabiskan ruang dengan yang ada, mengejek kapsitas si pengisi ruang. Lebih baik tidak dituangkan dari pada menghabiskan spasi dan isi dunia yang hanya segini - gininya dengan kesia - siaan. Pesimis dan realistis.
'Text cursor' sialan, merasa menang karena tahu bahwa yang akan memenuhi ruang putih di sebelahnya hanyalah coretan tak berisi. Yah, mungkin memang benar. Toh, dia sudah pernah memanipulasi berjuta - juta kilometer persegi ruang putih dengan omong kosong. Seharusnya 'text cursor' sudah bisa membuat teorema sendiri berdasarkan eksperimen dengan sampel semesta. Teorema 'text cursor',begini kira2 isinya : "Peluang pengisian ruang putih dengan coretan, secara eksponensial akan bermakna kosong. Semakin banyak yang diisi, maka akan semakin bermakna kosong."

It's better to leave it (blank) if you don't know what you're going to write.
Hopefully the white space will be filled by people that know what they write.

Read more...

Sabtu, Mei 15, 2010

Boundary..

Seems ages since i write, trying to write again before i lose it again. I don't know why i write here, since i have another thing to write (read:my Final Assignment). Probably to bring that writing feel to life. So here i am, starting to write.
I don't know why i bother to write an explanation why i needed to write. So sad, apologizing to myself and try to make it up. It's funny and sad at the same time. Standing on a boundary, it's burning but try to laugh it up.
Enough..
Excuses..
Escapement..

It was a fine afternoon, i could see the sun peek it's light. It seems bigger even after the horizon cut it in half. I never see the sun that obvious, trying to make it's way to the world as if couple million of years wasn't enough. I watched it slips away.
It's getting cold immediately, i needed a blanket. I sew a blanket from a banana leaves. My dad taught me how to sew my life, so it shouldn't be a problem sewing a blanket out of banana leaves. Its more than enough for now, because i know even if i sew it from the finest wool out of the finest sheep, it couldn't keep me warm. The cold isn't coming from the air that left by the sun, the cold is coming from inside. Things i should have kept warm, and now its frozen. My soul is in hypothermia, a few degree colder then it certainly dies. Heartless, soulless. Unguided. I just made a description of me.
Chills.
I put the sewed blanket over so it covers my neck but it left my feet unguarded. The wind blow harder, making my feet unconsciously pull the blanket from my neck. Even my body disagree with each other. I don't blame them, It's me who have been keeping their warmth away from them. They probably demanded their warmth back. I'll try. I'll try to push a little more from this boundary, and regain my warmth. My long lost enthusiasm. My long lost soul. My long lost warmth.

Read more...

  © Blogger template ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP